Kamis, 04 Mei 2017

Madzhab Syafi'i

MADZHAB SYAFI’I
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih




Dosen Pembimbing
1.      Dr. AHMAD ARIFI, M.Ag
2.      SITI NUR HIDAYATI S.Thi, M.Sc


Nama Kelompok 10 :
1.        Muhammad Ifan Nur Afuddin    (16490036)
2.        Muhammad Asda Sabylan           (16490046)
3.        Isnaini Nur Fathonah                    (16490047)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2017





BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Akidah dan syariah adalah dua komponen pokok kerangka agama. Karenanya, keduanya merupakan unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, laksana cahaya dan sumbernya. Meskipun demikian, akidah hanya mengatur moral keagamaan kaum muslim, sedangkan hukum-hukum syariah yang mengatur hubungan interaksi antar manusia adalah mengikat seluruh manusia, baik kaum muslim maupun non muslim.
 Fiqih merupakan ajaran islam tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an (3%) sebagai dasar hukum yang diperjelas dengan hadist Nabi Saw. Madzhab fiqih pengertiannya adalah tempat tujuan atau rujukan pemahaman hukum Islam. Madzhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat madzhab terkenal. Keempat madzhab fiqih islam yang pada umumnya diakui eksistensinya di dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. Semua umat islam apapun madzhabnya haruslah menjadikan Rasulullah sebagai panutannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Imam Syafi’i ?
2.      Bagaimana metode penggalian sumber hukum Madzhab Syafi’i?
3.      Bagaimana  fatwa-fatwa dari Madzhab Syafi’i ?
4.      Siapa saja guru-guru Imam Syafi’i ?
5.      Siapa saja yang menjadi murid-murid Imam Syafi’i ?
6.      Daerah mana saja yang menjadi penganut Madzhab Syafi’i ?
C.    Maksud dan Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui biografi Imam Syafi’i
2.      Untuk mengetahui metode penggalian sumber hukum Madzhab Syafi’i
3.      Untuk mengetahui fatwa-fatwa dari Madzhab Syafi’i
4.      Untuk mengetahui guru-guru Imam Syafi’i
5.      Untuk mengetahui murid-murid Imam Syafi’i
6.      Untuk mengetahui daerah yang menjadi penganut Madzhab Syafi’i

BAB II
PEMBAHASAN

1.               Biografi Imam Syafi’i

           Imam Syafi’i lahir di Gaza (Palestina) pada hari jum’at, di akhir bulan Rajab tahun 150 H sebagai “tangkai yang baru”. Sebab, kelahiran Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’bin bin As-Said bin Ubaid bin Abdun Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdul Manaf. Beliau kemudian memiliki gelar Abu Abdullah. Muhammad bin Ismail Al Bukhari suatu kali menyebutkan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qursy untuk merujuk kepada Imam Syafi’i karena beliau berasal dari suku Quraisy. Imam Syafi’i memiliki ayah yang bernama Idris bin Al-Abbas. Ia berasal dari Tabbalah, sebuah negeri yang berapa pada jalan menuju Yaman. Suatu riwayat menyebutkan bahwa pada mulanya sang Ayah menetap di Madinah. Namun karena sesuatu hal yang tidak sesuai dengan hati nurani, ia pun memutuskan untuk hijrah ke ‘Asqalan, sebuah negeri di Palestina, tempat asal Syeikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqalany. Sementara itu, ibu Imam Syafi’i berasal dari suku Al-Azd. Beberapa ahli sejarah menyatakan sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib karena ketika dirunut berdasarkan garis ibu akan ditemukan nama Muhammad binti Fathomah bin Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’i adalah seorang yang zuhud, ahli ibadah, sekaligus cerdas. Ini mungkin disebabkan empat orang kakeknya yang pernah menjadi sahabat Rasulullah Saw., yaitu Abdun Yazid, Ubaid, As-Saib bin Ubaid, dan Syafi’ bin As-Saib (diriwayatkan memiliki kemiripan wajah dengan Rasulullah).[1]
           Saat usia sang Imam menginjak dua tahun, beliau dibawa oleh orang tua ke Mekkah. Sejak saat itu, sang Imam tinggal di daerah Al-Khaif bersama orang tua beliau. Beranjak dewasa, Imam Syafi’i menjadi sosok berbadan tinggi dan berkulit cokelat dengan penampilan menarik sebagaimana diriwayatkan Yunus bin Abdul A’la, “Imam Syafi’i memiliki tinggi standar dengan roman yang jelas, wajah yang lembut, kulit yang cokelat, dan bahu yang ringan.” Pipi beliau tidak besar, leher dan tungkai kaki sang Imam pun panjang. Beliau menginai jenggot dengan warna merah untuk menjalankan sunnah. Meskipun tergolong bertubuh kurus, suara sang Imam sangat bagus. Apalagi tatkala membaca Al-Qur’an, banyak orang akan mendengarkan bacaan fasih sang Imam dalam diam dan setelahnya mengeluarkan air mata. Salah satu imam madzhab yang di tangan kirinya terdapat cincin bertuliskan “Wa Kafa Billah Tsiqatan Ya Muhammad bin Idris” (cukuplah Allah SWT sebagai pegangan wahai Muhammad bin Idris) ini memiliki seorang istri bernama Hamdah binti Nafi bin Anbasah bin Amru bin Utsman bin Affan. Ia adalah keturunan Quraisy dari jalur Utsman bin Affan. Bersamanya, rumah tangga sang Imam dikaruniai 2 orang anak laki-laki bernama Muhammad Abu Utsman dan Muhammad, juga seorang anak perempuan bernama Zainab.[2]Imam Syafi’i wafat di Mesir pada malam jum’at sesudah shalat magrib, tepatnya di hari terakhir bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari jum’at pada tahun 204 H (819/820M). Makamnya berada di kota Kairo, Mesir.[3]
2.      Metode Penggalian Sumber Hukum Islam Madzhab syafi’i
           Jika sang Imam memiliki banyak murid yang menyebarkan mazhab Syafi’i, lalu bagaimana dengan sumber hukum mazhabnya sendiri? Sebelumnya, telah diketahui bahwa Imam Syafi’i adalah sosok ulama yang mampu menggabungkan antara atsar Ulama madinah dan Ra’yi Ulama irak. Beliau berhasil menggabungkan keduanya dan membangun mazhab sendiri tanpa terikat apa pun selain kebenaran. As-sunnah, Ijma’, Qaul Ash-Shahaby, dan Qiyas menjadi beberapa fondasi utama dalam mazhab ini.[4]
           Pertama, Al-Qur’an, yang menurut mazhab Syafi’i menjadi tiang utama agama dan sumber utama dalam penetapan hukum. Di dalam Ar-Risalah, beliau menyebutkan, “Tidaklah suatu masalah muncul di tengah-tengah para penganut agama Allah SWT. Kecuali ada dalil di dalam Kitabullah sebagai petunjuk.
           Kedua, As-Sunnah, yang kedudukannya tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Semua yang datang dari Rasulullah SAW, selama itu benar dan bisa diteliti kebenarannya maka harus dijadikan Hujjah.
           Ketiga, ijma’, yang dalam mazhab Syafi’i diyakini setiap muslim dapat terlibat di dalamnya. Sebab, sebagaimana perkataan beliau, “Ilmu itu ada dua bentuk, yakni ittiba’ dan istinbath. Maksud ittiba’ adalah mengikuti kitabullah. Jikalau tidak ada maka Sunnah Rasulullah Saw. Jikalau tidak ada juga perkataan pendahulu kita tidak ada perbedaan sedikitpun diantara mereka.” Selain itu, menurut sang Imam, lahan ijma’ hanyalah maslah-masalah Fardhiyah dalam agama yang tidak mungkin seorang muslim pun menyelisihinya. Oleh sebab itu, setiap muslim bisa terlibat dalam ijma’ dan tidak terdapat perbedaan di antara ulama yang mempunyai spesialisasi ilmu dengan orang biasa yang hanya mengetahui hal-hal wajib dalam agama
           Keempat, qaul Ash-Shahaby, yang sebenarnya tidak diterima oleh sang Imam secara mutlak sebagai sumber. Namun demikian, terdapat perincian-perincian yang menjadi yang menjadi ukuran penerimaanya. Jikalau muncul suatu masalah, sementara tidak ada dalilnya di dakam Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Ijma maka dilihat;ah pendapat para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Apabila ada maka itulah yang dijadikan sebagai sandaran hukum. Seandainya ditemukan beberapa pendapat mengenai suatu permasalahan maka akan diambil salah satu yang paling kuat.
           Kelima, Qiyas, yang dilakukan ketika suatu permasalahan tidak mendapat pemecahan atau jawaban dari ushul mazhab sebelumnya. Qiyas menduduki posisi terakhir karena tidak akan dirujuk kecuali dalam keadaan daruart. Sebab, menurut Imam Syafi’i, Qiyas tidak dapat dikatakan “Ilmu sepenuhnya”.
                 
3.      Fatwa-Fatwa Madzhab Syafi’i
     A.  Al-Qaulul Qadim (Fatwa Lama)
           Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya tajam dan setelah sampai ia ke derajat Mujtahid Muthlaq (Mujtahid penuh) timbullah inspirasinya untuk berfatwa sendiri yakni mengeluarkan hukum-hukum syari’at dari Qur’an dan Hadits sesuai dengan ijtihadnya sendiri, terlepas dari madzhab-madzhab gurunya Imam Maliki dan Imam Hanafi. Hal ini terjadi di Bagdad (Iraq) pada tahun 198 H. Yaitu sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah memulai masa belajar selama lebih kurang 40 tahun.
           Pada mulanya di Iraq mengarang Kitab Usul Fiqih yang diberi nama Ar Risalah (surat kiriman), karena kitab ini dikarang atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Mekkah, yang meminta kepada beliau agar menerangkan satu Kitab yang mencakup ilmu tentang arti Qur’an, hal ihwal yang ada dalam Qur’an tentang soal ijma’, soal nasekh, dan mansukh dan tentang hadits Nabi. Kitab ini setelah dikarang dan disalin oleh murid-muridnya lantas dikirim ke Mekkah di samping ada pula yang tinggal di Iraq. Itulah sebabnya maka dinamai Ar Risalah (surat kiriman) karena sudah dikarang, dikirim kepada Abdurrahman bin Mahdi di Mekkah.Al Karabisi murid Imam Syafi’i di Bagdad menceritakan: kami (di Bagdad) pada hakikatnya tidak mengetahui cara-cara pemakaian dalil dari Al-Qur’an, dari Hadits, dari Ijma’, sampai datang kepada kami Imam Syafi’i, maka kami ketahuilah tentang Al-Qur’an, Hadits,dan Ijma’ itu. Inilah ilmu ushul fiqih yang sampai sekarang dipakai dan dipedomani oleh seluruh dunia Islam dalam menggali isi dan inti dari kitab Suci dan Hadits Nabi.[5]
          Dinyatakan bahwa Imam Syafi’i Rhl. masuk masjid Bagdad untuk sembahyang magrib. Beliau melihat orang-orang sembahyang di belakang seorang pemuda. Imam Syafi’i Rhl. pun ikut menjadi ma’mum dari pemuda itu. Imam muda ini sangat baik bacaannya tetapi telah terjadi kelupaan sesuatu dalam sembahyang itu. Ia tidak bisa menyelesaikan dan mengakhiri sembahyang, karena ia tidak tahu bagaimana kalau terjadi kelupaan. Selesai ia memberi salam lantas Imam Syafi’i berkata kepada pemuda itu:  “engkau telah membinasakan sembahyang kami, hai pemuda!” sesudah kejadian ini tergerak hati imam syagi’i menulis kitab yang mana di dalamnya diterangkan juga soal sujud sahwi (sujud lupa). Kitab ini dinamainya Az Za’faran, yaitu nama Imam muda yang lupa dalam sembahyang tadi. Kitab Az Za’faran ini berisi bukan saja soal sujud sahwi, tetapi juga lain-lain fiqih dalam lain-lain persoalannya. Kitab Az Za’faran ini kemudian dimasyhurkan namanya dengan “Al-Hujah”. Inilah kitab fiqih yang pertama dari Imam Syafi’I Rhl. Az Za’faran ini kemudian menjadi murid penyambung lidah dari gurunya Imam Syafi’i Rhl. Beliau meninggal tahun 260 H, yaitu 54 tahun sesudah wafatnya Imam Syafi’i Rhl. Fatwa Imam Syafi’i selain dikarang dalam bentuk buku, juga ditabligkan kepada umum, sehingga banyaklah murid-murid yang mengambil madzhab Syafi’i ini ketika beliau berada di Bagdad. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan Imam Syafi’i ketika berada di bagdad inilah yang dinamai Al Qaulul Qadim (Fatwa Lama).[6]
B.     Al Qaulul Jadid (Fatwa Baru)
          Imam Syafi’i Rhl sebagai dimaklumi dalam sejarahnya pindah ke Mesir pada tahun 198 H. Di Mesir beliau tinggal di rumah seorang sahabat beliau Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, dan mengajar di masjid Umar bin Ash yang tidak berapa jauh dari tempat beliau tinggal. Ketika berada di Mesir ini selama 5 tahun beliau berfatwa dan mengembangkan Madzhabnya di hadapan umum dengan lisan dan tulisan dan mendapat sambutan sangat baik di dunia islam ketika itu. Kitab-kitab yang dikarang beliau banyak sekali, tidak terhitung karena banyak kitab-kitab itu yang disalin oleh murid-murid beliau dan dibawa ke negeri lain untuk dikembangkan.
                 Kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i ketika di Mesir, di antaranya:
1.Ar Risalah
2.Kitab Ahkamil Qur’an
3.Kitab Ikhtilaful Hadits
4.Kitab Ibthalul Istihsan
5.Kitab Jima’ul Ilmi
6.Kitab Al Qiyas
7.Kitab Al Umm Dlaam Ilmu Fiqih
8.Kitab Al Musnad
9.Kitab Mukhtasar al Muzani
10. Kitab Harmalh
11. Kitab Jami’al Muzani al Kabir
12. Kitab Jami’al Muzani as Shagir
13. Kitab Istiqbalul Qiblatein
14. Kitab Mukhtasar Al Buwaithi
15. Kitab Al Amaali
16. Kitab Al Qassamah
17. Kitab Al Jizyah
18. Kitab Qital Ahlil Baqyi

            Qadhi Imam Abu Muhammad bin Husein bin Muhammad al Marudzi, salah seorang murid Imam Syafi’i: “Imam Syafi’i Rhl. telah mengarang 113 kitab dalam ilmu usul, tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.Pada waktu di Mesir inilah beliau meninjau kembali fatwa-fatwa yang dikeluarkan beliau di Bagdad dulu, ada di antaranya yang ditetapkan dan ada di antaranya yang dibatalkan. Karena itu timbul istilah “kata Qadim dan kata Jadid” yang Qadim adalah yang difatwakan di Bagdad dan yang jadid yang difatwakan di Mesir.





4.      Guru-guru Imam Syafi’i
      Imam Syafi’i mempelajari ilmu tafsir, fiqih, dan hadits kepada guru-guru yang banyak, yang negerinya antara satu dengan yang lain berjauhan. Guru-guru beliau yang masyhur, di antaranya:

1.      Di Mekkah
                                                             a.      Muslim bin Khalid Az Zanji
                                                            b.      Isma’il bin Qusthantein
                                                             c.      Sofyan bin Ujainah
                                                            d.      Sa’ad bin Abi Salim al Qaddah
                                                             e.      Daud bin Abdurrahman al ‘Athar

2.      Di Madinah
a)      Imam Malik bin Annas (pembangun Mazhab Maliki)
b)      Ibrahim Ibnu Sa’ad al Anshari\
c)      Abdul Aziz bin Muhammad ad Darurdi
d)     Ibrahim Ibnu Abi Yahya Al Asaami
e)      Muhammad Bin Said
f)       Abdullah Bin Nafi’
3.      Di Yaman
a.     Mathraf Bin Mazin
b.     Hisyam Bin abu Yusuf Qadhi Shan’a
c.     Umar Bin Abi Salamah
d.    Yahya Bin Hasan
4.  Di Irak
a. Wakik Bin Jarrah
b. Humad Bin Usamah
c. Ismail Bin Ulyah
d. Abdul Wahab Bin Abdul Majid
e. Muhammad Bin Hasan
f. Qadhi Bin Yusuf
Demikian daftar nama-nama guru imam syafi’i. Dari nama-nama tersebut dapat diketahui bahwa imam syafi’i sebelum menjadi imam mujtahid telah mempelajari aliran-aliran fiqih maliki dari pembangunnya imam maliki sendiri, telah mempelajari fiqih hanafi dari Qadhi bin Yusuf dan Muhammaad bin Hasan yaitu murid-murid imam Hanafi di kufah.

5.      Murid-murid Imam Syafi’i
a)      Murid-murid imam Syafi’i di Baghdad
1) Abu Ali al Hasan as- shabah as-zakfaran
2) Husen bin Ali al-Karabisi
3) imam Ahmad bin Hanbal
4) Abu Tsur al- Kalabi
5) ishak bin Rahuyah
6) ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi
7) Abdullah bin Zubair al-Humaidi
8) Dll
b)      Murid Imam Syafi’i di Mesir
1) ar-Rabi’in bin Sulaiman al-Muradi
2) Abdullah bin Zubair al-Khumaidi
3) Al-Buwaithi
4) Al-Muzany
5) Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Jizi
6) harmala bin Yahya at-Tujibi
7) Yunus bin Abdil A’ala
8) Muhammad bin Abdullah bin Abdul hakam
9) Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam
10) Abu Bakar al-Humaidi
11) Abdul Aziz bin Umar
12) Abu Utsman
13) Abu Hanifa al-Aswani
14) Dll.






6. Daerah-daerah penyebaran Mazhb Imam Syafi’i
               Zaman keemasan Islam dahulu, mazhab Syafi’i memiliki penganut mayoritas di Mesir, Iraq dan Khurasan. Seperti yang kita ketahui Mesir dan Iraq adalah tempat dimana Imam Syafi’i rahimahullah mengajar murid-muridnya dan menyebarkan mazhabnya. Adapun Khurasan adalah tempat asal kebanyakan muridnya. Dari tiga negeri inilah mazhab Syafi’i kemudian menyebar ke berbagai pelosok negeri.

Berikut adalah wilayah-wilayah dengan penganut mazhab Syafi’i (secara kuantitas) di Dunia saat ini :
1.      Mesir
Mesir adalah tempat Imam Syafi’i menetap sampai akhir hayatnya. Disini jugalah muncul qaul jadid sebagai bentuk progresifitas mazhab beliau. Disini pula beliau mendidik murid-murid yang kelak menjadi penolong dan penyebar mazhabnya.
Masyarakat Mesir sendiri sebelum kedatangan Imam Syafi’i menganut mazhab Maliki lalu Hanafi. Kondisi ini bertahan hingga Imam Syafi’i masuk ke Mesir dan menyebarkan mazhabnya. Bahkan pakar sejarah mengatakan bahwa Mazhab Syafi’i sendiri berhasil mempengaruhi penduduk mesir sehingga mengalahkan pengaruh mazhab Maliki dan Hanafi yang sudah ada sebelumnya. Ibn Khaldun berkata dalam Muqaddimahnya “Mazhab Syafi’i di Mesir memiliki penganut yang lebih banyak dari mazhab lainnya”
Pengaruh tersebut sempat memudar tatkala Dinasti Syiah Fathimiyyah menguasai Mesir, namun kembali berjaya saat kekuasaan Fathimiyyah dikalahkan Dinasti Ayyubiyyah yang menganut mazhab Syafi’i. Pengaruh ini bertahan sampai kekuasaan Dinasti Mamalik, hingga akhirnya Dinasti Utsmaniyyah yang bermazhab Hanafi menguasai Mesir. Walau begitu, kekuasaan mazhab Hanafi ini tidak terlalu banyak menggusur posisi mazhab Syafi’i yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Mesir.
Mesir saat ini secara hukum didominasi oleh mazhab Hanafi sebagai warisan kekuasaan Dinasti Utsmaniyyah. Namun posisi Mazhab Syafi’i dan Maliki tetap bertahan dalam Masyarakat. Hal ini terlihat dalam metode peribadatan yang diamalkan masyarakat. Secara umum, Bagian utara Mesir menganut mazhab Syafi’i dan bagian selatan menganut mazhab Maliki[4]. Saat ini, Mesjid Al-Azhar Asy-Syarif menjadi pusat pendidikan mazhab Syafi’i di Mesir.
2.      Syam
Berkembang pesatnya mazhab Syafi’i di negeri Syam tidak terlepas dari andil Hakim Agung Imam Abu Zur’ah Ad-Dimasyq di pertengahan abad ke 4 hijriyah. Sebelum itu, masyarakat Syam menganut mazhab serta menjalankan lembaga Qadha’ / peradilan sesuai mazhab Imam Awza’i. Membesarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Syam inilah yang kelak mempengaruhi para pendiri dinasti Ayyubiyyah di Mesir (dimana daerah kekuasaannya juga meliputi Syam).
Di masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, banyak madrasah mazhab Syafi’i yang didirikan di Syam terutama di daerah Damaskus. Hal ini juga yang membuat mazhab Syafi’i memiliki banyak penganut disana. Ahmad Taymur Basya memperkirakan bahwa mazhab Syafi’i dianut oleh seperempat penduduk Syam.
3.      Iraq
Iraq merupakan tempat pertama Imam Syafi’i membangun, mengajar dan menyebarkan mazhabnya. Pendapat beliau selama di Iraq dikenal dengan istilah Qaul Qadim. Bahkan dalam dinamika mazhab Syafi’i terdapat madrasah dan metode khusus yang dinamakan madrasah atau metode Iraqiyyun.
Walaupun mazhab Syafi’i di Iraq mendapat tempat khusus di kalangan masyarakatnya namun di pemerintahan terutama posisi hakim, mazhab Syafi’i jarang sekali menempatkan ulama mazhabnya. Posisi hakim hampir selalu diisi oleh ulama mazhab Hanafi[8]. Mazhab Syafi’i sendiri dalam sejarahnya memberikan banyak pengaruh ke masyarakat lewat lembaga pendidikan Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham Al-Muluk terutama Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.
4.      Persia
Negeri Persia memiliki peranan penting dalam mazhab Syafi’i. Bukan hanya dari segi penyebaran mazhab namun juga dalam perkembangan dan pengokohan pondasi mazhab hingga bisa kita temukan seperti saat ini. Dalam mazhab Syafi’i dikenal madrasah atau metode Al-Khurasiyun atau Al-Marawizah yang merujuk kepada Ulama-ulama mazhab Syafi’i dari negeri ini. Siapa yang tidak kenal Abu Zaid Al-Maruzi atau Qafal Ash-Shagir atau bahkan Imam Haramaini Juwaini. Semuanya adalah produk Mazhab Syafi’i dari negeri Persia.
Bisa dibilang Persia di era keemasan Islam adalah negerinya mazhab Syafi’i. Hampir setiap daerahnya melahirkan ulama-ulama yang pakar dalam mazhab Syafi’i. Ada daerah Syiraz, Samarkand, Bukhara, Jurjan, Rayy, Isbahan, Thus, Hamzan, Zinjan, Tibriz, Bayhaq, Fairuzabad dan negeri-negeri lainnya yang sampai saat ini sangat mudah kita jumpai dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i. Dari negeri ini pula mazhab Syafi’i berkembang ke daerah Traxonia (Maa Wara’ An-Nahr, Azerbaijan, Khawarizm serta ke negeri India dan negeri lain disekitarnya. Sayang, keemasan mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang dianut oleh mayoritas muslim di Negeri ini meredup bahkan punah saat penyerangan bangsa mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan dan dilanjutkan oleh Hulagu Khan. Seiring hancur leburnya negeri itu beserta umat islam, hilang pula lah kejayaan mazhab Syafi’i disana. Hari ini kabarnya mazhab Syafi’i masih ada dianut oleh beberapa muslim Iran (Persia hari ini) walau sangat minoritas dan tentu saja tidak sehebat masa dulu.
5.      Hijaz
Negeri Hijaz yang meliputi dua tanah Haram (Mekah dan Madinah) juga memiliki banyak populasi masyarakat yang banyak menganut mazhab Syafi’i. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, mazhab Syafi’i memiliki madrasah bahkan mufti mazhab tersendiri. Banyak pelajar-pelajar dari berbagai negeri yang belajar fiqh mazhab Syafi’i di Negeri ini, tak terkecuali Indonesia. Bahkan salah seorang ulama asal Sumatera Barat yang bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pernah menduduki posisi mufti mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Mazhab Syafi’i sendiri merupakan mazhab yang banyak dianut oleh penduduk Hijaz selain mazhab Hanbali
Saat ini, pendidikan mazhab Syafi’i diambil oleh madrasah-madrasah seperti Madrasah Saulatiyah dan Darul Ulum mengingat kondisi politik Arab Saudi yang dikuasai oleh Wahabi yang menyebarkan propaganda anti mazhab cukup membuat penyebaran mazhab Syafi’i tersendat. Selain Hijaz, daerah kerajaan Arab Saudi yang juga banyak menganut mazhab Syafi’i adalah daerah Ahsa’, Asir dan Tihamah.[7]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan   
Imam Syafi’i lahir di Gaza (Palestina) pada hari jum’at, di akhir bulan Rajab tahun 150 H sebagai “tangkai yang baru”. Sebab, kelahiran Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’bin bin As-Said bin Ubaid bin Abdun Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdul Manaf.
 Imam Syafi’i adalah sosok ulama yang mampu menggabungkan antara atsar Ulama madinah dan Ra’yi Ulama irak. Beliau berhasil menggabungkan keduanya dan membangun mazhab sendiri tanpa terikat apa pun selain kebenaran. As-sunnah, Ijma’, Qaul Ash-Shahaby, dan Qiyas menjadi beberapa fondasi utama dalam mazhab ini.
Qaul qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang lama ketika berada di Irak berupa tulisan atau fatwa beliau. Yang mencatat qaul qadim dari Imam Syafi’i adalah Al-Hasan bin Muhammad yang dikenal dengan Az-Za’farani dan Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali yang dikenal dengan Al-Karabisi.
Sedangkan Qaul jadid adalah pendapat Imam Syafi’i di Mesir baik berupa tulisan maunpun fatwa. Yang meriwayatkan adalah Al-Muzani, Al-Buyuthi, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Maradi dan Ar-Rabi’ Al-Jizi. Yang lain yang meriwayatkannya adalah Harmalah, Yunus bin ‘Abdul A’laa, ‘Abdullah bin Az Zair Al-Makkiy, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam. Al-Muzani, Al-Buyuthi dan Ar-Rabi’ Al-Maradi adalah tiga murid utama, yang lain menukil dari tiga ulama ini.







DAFTAR PUSTAKA


Sati, Pakih, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab, Yogyakarta, Kana Media. 2014

Muchtar Asmaji, Fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, Amzah, 2015

Abbas Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta, Pustaka Tarbiyah, 1995

http://zamzamisaleh.blogspot.co.id/2013/12/demografi-mazhab-syafii.html



[1] D.A Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4 Madzhab, (2014: Yogyakarta, Kana Media) Hlm.142
[2]Ibid Hlm. 143
[3]Asmaji Muchtar, Fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i, (2015: Jakarta, Amzah) hlm. 7
[4] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (1995: Jakarta, Pustaka Tarbiyah) Hlm. 11
[5]Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (1995: Jakarta, Pustaka Tarbiyah) Hlm. 136
[6]Ibid Hlm. 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

9 Cara Mengobati Mata Minus Secara Alami

9 Cara Mengobati Mata Minus Secara Alami   Mata minus  atau rabun merupakan suatu keadaan dimana kita tidak dapat melihat suatu objek ...