MADZHAB SYAFI’I
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqih dan Ushul Fiqih
Dosen Pembimbing
1. Dr. AHMAD ARIFI, M.Ag
2. SITI NUR HIDAYATI S.Thi, M.Sc
Nama Kelompok 10 :
1.
Muhammad Ifan Nur Afuddin (16490036)
2.
Muhammad Asda Sabylan (16490046)
3.
Isnaini Nur Fathonah (16490047)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akidah
dan syariah adalah dua komponen pokok kerangka agama. Karenanya, keduanya
merupakan unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, laksana
cahaya dan sumbernya. Meskipun demikian, akidah hanya mengatur moral keagamaan
kaum muslim, sedangkan hukum-hukum syariah yang mengatur hubungan interaksi
antar manusia adalah mengikat seluruh manusia, baik kaum muslim maupun non
muslim.
Fiqih merupakan ajaran islam tentang hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an (3%) sebagai dasar hukum yang diperjelas dengan
hadist Nabi Saw. Madzhab fiqih pengertiannya adalah tempat tujuan atau rujukan
pemahaman hukum Islam. Madzhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat madzhab
terkenal. Keempat madzhab fiqih islam yang pada umumnya diakui eksistensinya di
dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i,
Hambali dan Hanafi. Semua umat islam apapun madzhabnya haruslah menjadikan
Rasulullah sebagai panutannya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi Imam Syafi’i ?
2. Bagaimana
metode penggalian sumber hukum Madzhab Syafi’i?
3. Bagaimana fatwa-fatwa dari Madzhab Syafi’i ?
4. Siapa saja
guru-guru Imam Syafi’i ?
5. Siapa saja
yang menjadi murid-murid Imam Syafi’i ?
6. Daerah mana
saja yang menjadi penganut Madzhab Syafi’i ?
C.
Maksud dan
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui biografi Imam Syafi’i
2. Untuk
mengetahui metode
penggalian sumber hukum Madzhab Syafi’i
3. Untuk
mengetahui fatwa-fatwa dari Madzhab Syafi’i
4. Untuk
mengetahui guru-guru Imam Syafi’i
5. Untuk
mengetahui murid-murid Imam Syafi’i
6. Untuk
mengetahui daerah yang menjadi penganut Madzhab Syafi’i
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Imam Syafi’i
Imam Syafi’i lahir di Gaza (Palestina) pada hari jum’at,
di akhir bulan Rajab tahun 150 H sebagai “tangkai yang baru”. Sebab, kelahiran
Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah
Rahimahullah. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’bin bin As-Said bin Ubaid bin Abdun Yazid bin Hasyim bin
Al-Mutthalib bin Abdul Manaf. Beliau kemudian memiliki gelar Abu Abdullah.
Muhammad bin Ismail Al Bukhari suatu kali menyebutkan nama Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i Al-Qursy untuk merujuk kepada Imam Syafi’i karena beliau berasal
dari suku Quraisy. Imam Syafi’i memiliki ayah yang bernama Idris bin Al-Abbas.
Ia berasal dari Tabbalah, sebuah negeri yang berapa pada jalan menuju Yaman.
Suatu riwayat menyebutkan bahwa pada mulanya sang Ayah menetap di Madinah.
Namun karena sesuatu hal yang tidak sesuai dengan hati nurani, ia pun
memutuskan untuk hijrah ke ‘Asqalan, sebuah negeri di Palestina, tempat asal
Syeikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqalany. Sementara itu, ibu Imam Syafi’i berasal
dari suku Al-Azd. Beberapa ahli sejarah menyatakan sebagai keturunan Ali bin
Abi Thalib karena ketika dirunut berdasarkan garis ibu akan ditemukan nama
Muhammad binti Fathomah bin Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Ibu Imam Syafi’i adalah seorang yang zuhud, ahli ibadah, sekaligus
cerdas. Ini mungkin disebabkan empat orang kakeknya yang pernah menjadi sahabat
Rasulullah Saw., yaitu Abdun Yazid, Ubaid, As-Saib bin Ubaid, dan Syafi’ bin
As-Saib (diriwayatkan memiliki kemiripan wajah dengan Rasulullah).[1]
Saat usia sang Imam menginjak dua tahun, beliau dibawa
oleh orang tua ke Mekkah. Sejak saat itu, sang Imam tinggal di daerah Al-Khaif
bersama orang tua beliau. Beranjak dewasa, Imam Syafi’i menjadi sosok berbadan
tinggi dan berkulit cokelat dengan penampilan menarik sebagaimana diriwayatkan
Yunus bin Abdul A’la, “Imam Syafi’i memiliki tinggi standar dengan roman yang
jelas, wajah yang lembut, kulit yang cokelat, dan bahu yang ringan.” Pipi
beliau tidak besar, leher dan tungkai kaki sang Imam pun panjang. Beliau
menginai jenggot dengan warna merah untuk menjalankan sunnah. Meskipun tergolong
bertubuh kurus, suara sang Imam sangat bagus. Apalagi tatkala membaca
Al-Qur’an, banyak orang akan mendengarkan bacaan fasih sang Imam dalam diam dan
setelahnya mengeluarkan air mata. Salah satu imam madzhab yang di tangan
kirinya terdapat cincin bertuliskan “Wa Kafa Billah Tsiqatan Ya Muhammad bin
Idris” (cukuplah Allah SWT sebagai pegangan wahai Muhammad bin Idris) ini
memiliki seorang istri bernama Hamdah binti Nafi bin Anbasah bin Amru bin
Utsman bin Affan. Ia adalah keturunan Quraisy dari jalur Utsman bin Affan.
Bersamanya, rumah tangga sang Imam dikaruniai 2 orang anak laki-laki bernama
Muhammad Abu Utsman dan Muhammad, juga seorang anak perempuan bernama Zainab.[2]Imam
Syafi’i wafat di Mesir pada malam jum’at sesudah shalat magrib, tepatnya di hari
terakhir bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari jum’at pada tahun 204 H
(819/820M). Makamnya berada di kota Kairo, Mesir.[3]
2.
Metode
Penggalian Sumber Hukum Islam Madzhab syafi’i
Jika
sang Imam memiliki banyak murid yang menyebarkan mazhab Syafi’i, lalu bagaimana
dengan sumber hukum mazhabnya sendiri? Sebelumnya, telah diketahui bahwa Imam
Syafi’i adalah sosok ulama yang mampu menggabungkan antara atsar Ulama madinah
dan Ra’yi Ulama irak. Beliau berhasil menggabungkan keduanya dan membangun
mazhab sendiri tanpa terikat apa pun selain kebenaran. As-sunnah, Ijma’, Qaul
Ash-Shahaby, dan Qiyas menjadi beberapa fondasi utama dalam mazhab ini.[4]
Pertama, Al-Qur’an, yang menurut mazhab
Syafi’i menjadi tiang utama agama dan sumber utama dalam penetapan hukum. Di
dalam Ar-Risalah, beliau menyebutkan, “Tidaklah suatu masalah muncul di
tengah-tengah para penganut agama Allah SWT. Kecuali ada dalil di dalam
Kitabullah sebagai petunjuk.
Kedua, As-Sunnah, yang kedudukannya tidak
dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Semua yang datang dari Rasulullah SAW, selama
itu benar dan bisa diteliti kebenarannya maka harus dijadikan Hujjah.
Ketiga, ijma’, yang dalam mazhab Syafi’i
diyakini setiap muslim dapat terlibat di dalamnya. Sebab, sebagaimana perkataan
beliau, “Ilmu itu ada dua bentuk, yakni ittiba’ dan istinbath. Maksud ittiba’
adalah mengikuti kitabullah. Jikalau tidak ada maka Sunnah Rasulullah Saw.
Jikalau tidak ada juga perkataan pendahulu kita tidak ada perbedaan sedikitpun
diantara mereka.” Selain itu, menurut sang Imam, lahan ijma’ hanyalah
maslah-masalah Fardhiyah dalam agama yang tidak mungkin seorang muslim pun
menyelisihinya. Oleh sebab itu, setiap muslim bisa terlibat dalam ijma’ dan
tidak terdapat perbedaan di antara ulama yang mempunyai spesialisasi ilmu
dengan orang biasa yang hanya mengetahui hal-hal wajib dalam agama
Keempat, qaul Ash-Shahaby, yang sebenarnya
tidak diterima oleh sang Imam secara mutlak sebagai sumber. Namun demikian,
terdapat perincian-perincian yang menjadi yang menjadi ukuran penerimaanya.
Jikalau muncul suatu masalah, sementara tidak ada dalilnya di dakam Al-Qur’an,
As-Sunnah, maupun Ijma maka dilihat;ah pendapat para sahabat Radhiyallahu
‘Anhum. Apabila ada maka itulah yang dijadikan sebagai sandaran hukum. Seandainya
ditemukan beberapa pendapat mengenai suatu permasalahan maka akan diambil salah
satu yang paling kuat.
Kelima, Qiyas, yang dilakukan ketika suatu
permasalahan tidak mendapat pemecahan atau jawaban dari ushul mazhab
sebelumnya. Qiyas menduduki posisi terakhir karena tidak akan dirujuk kecuali
dalam keadaan daruart. Sebab, menurut Imam Syafi’i, Qiyas tidak dapat dikatakan
“Ilmu sepenuhnya”.
3.
Fatwa-Fatwa
Madzhab Syafi’i
A. Al-Qaulul Qadim
(Fatwa Lama)
Abu Abdillah
Muhammad bin Idris as Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya tajam dan
setelah sampai ia ke derajat Mujtahid Muthlaq (Mujtahid penuh) timbullah
inspirasinya untuk berfatwa sendiri yakni mengeluarkan hukum-hukum syari’at
dari Qur’an dan Hadits sesuai dengan ijtihadnya sendiri, terlepas dari
madzhab-madzhab gurunya Imam Maliki dan Imam Hanafi. Hal ini terjadi di Bagdad
(Iraq) pada tahun 198 H. Yaitu sesudah usia beliau 48 tahun dan sesudah memulai
masa belajar selama lebih kurang 40 tahun.
Pada mulanya
di Iraq mengarang Kitab Usul Fiqih yang diberi nama Ar Risalah (surat kiriman),
karena kitab ini dikarang atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Mekkah, yang
meminta kepada beliau agar menerangkan satu Kitab yang mencakup ilmu tentang
arti Qur’an, hal ihwal yang ada dalam Qur’an tentang soal ijma’, soal nasekh,
dan mansukh dan tentang hadits Nabi. Kitab ini setelah dikarang dan disalin
oleh murid-muridnya lantas dikirim ke Mekkah di samping ada pula yang tinggal
di Iraq. Itulah sebabnya maka dinamai Ar Risalah (surat kiriman) karena sudah
dikarang, dikirim kepada Abdurrahman bin Mahdi di Mekkah.Al Karabisi murid Imam
Syafi’i di Bagdad menceritakan: kami (di Bagdad) pada hakikatnya tidak
mengetahui cara-cara pemakaian dalil dari Al-Qur’an, dari Hadits, dari Ijma’,
sampai datang kepada kami Imam Syafi’i, maka kami ketahuilah tentang Al-Qur’an,
Hadits,dan Ijma’ itu. Inilah ilmu ushul fiqih yang sampai sekarang dipakai dan
dipedomani oleh seluruh dunia Islam dalam menggali isi dan inti dari kitab Suci
dan Hadits Nabi.[5]
Dinyatakan bahwa Imam Syafi’i Rhl.
masuk masjid Bagdad untuk sembahyang magrib. Beliau melihat orang-orang
sembahyang di belakang seorang pemuda. Imam Syafi’i Rhl. pun ikut menjadi
ma’mum dari pemuda itu. Imam muda ini sangat baik bacaannya tetapi telah terjadi
kelupaan sesuatu dalam sembahyang itu. Ia tidak bisa menyelesaikan dan
mengakhiri sembahyang, karena ia tidak tahu bagaimana kalau terjadi kelupaan.
Selesai ia memberi salam lantas Imam Syafi’i berkata kepada pemuda itu: “engkau telah membinasakan sembahyang kami,
hai pemuda!” sesudah kejadian ini tergerak hati imam syagi’i menulis kitab yang
mana di dalamnya diterangkan juga soal sujud sahwi (sujud lupa). Kitab ini
dinamainya Az Za’faran, yaitu nama Imam muda yang lupa dalam sembahyang tadi.
Kitab Az Za’faran ini berisi bukan saja soal sujud sahwi, tetapi juga lain-lain
fiqih dalam lain-lain persoalannya. Kitab Az Za’faran ini kemudian dimasyhurkan
namanya dengan “Al-Hujah”. Inilah kitab fiqih yang pertama dari Imam Syafi’I
Rhl. Az Za’faran ini kemudian menjadi murid penyambung lidah dari gurunya Imam
Syafi’i Rhl. Beliau meninggal tahun 260 H, yaitu 54 tahun sesudah wafatnya Imam
Syafi’i Rhl. Fatwa Imam Syafi’i selain dikarang dalam bentuk buku, juga
ditabligkan kepada umum, sehingga banyaklah murid-murid yang mengambil madzhab
Syafi’i ini ketika beliau berada di Bagdad. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan Imam
Syafi’i ketika berada di bagdad inilah yang dinamai Al Qaulul Qadim (Fatwa
Lama).[6]
B.
Al Qaulul Jadid (Fatwa Baru)
Imam Syafi’i Rhl sebagai dimaklumi dalam
sejarahnya pindah ke Mesir pada tahun 198 H. Di Mesir beliau tinggal di rumah
seorang sahabat beliau Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, dan mengajar di
masjid Umar bin Ash yang tidak berapa jauh dari tempat beliau tinggal. Ketika
berada di Mesir ini selama 5 tahun beliau berfatwa dan mengembangkan Madzhabnya
di hadapan umum dengan lisan dan tulisan dan mendapat sambutan sangat baik di
dunia islam ketika itu. Kitab-kitab yang dikarang beliau banyak sekali, tidak
terhitung karena banyak kitab-kitab itu yang disalin oleh murid-murid beliau
dan dibawa ke negeri lain untuk dikembangkan.
Kitab-kitab
yang dikarang oleh Imam Syafi’i ketika di Mesir, di antaranya:
1.Ar Risalah
2.Kitab Ahkamil
Qur’an
3.Kitab
Ikhtilaful Hadits
4.Kitab
Ibthalul Istihsan
5.Kitab Jima’ul
Ilmi
6.Kitab Al
Qiyas
7.Kitab Al Umm
Dlaam Ilmu Fiqih
8.Kitab Al
Musnad
9.Kitab
Mukhtasar al Muzani
10. Kitab Harmalh
11. Kitab Jami’al
Muzani al Kabir
12. Kitab Jami’al
Muzani as Shagir
13. Kitab
Istiqbalul Qiblatein
14. Kitab
Mukhtasar Al Buwaithi
15. Kitab Al
Amaali
16. Kitab Al
Qassamah
17. Kitab Al
Jizyah
18. Kitab Qital
Ahlil Baqyi
Qadhi Imam Abu Muhammad bin Husein
bin Muhammad al Marudzi, salah seorang murid Imam Syafi’i: “Imam Syafi’i Rhl.
telah mengarang 113 kitab dalam ilmu usul, tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.Pada
waktu di Mesir inilah beliau meninjau kembali fatwa-fatwa yang dikeluarkan
beliau di Bagdad dulu, ada di antaranya yang ditetapkan dan ada di antaranya
yang dibatalkan. Karena itu timbul istilah “kata Qadim dan kata Jadid” yang
Qadim adalah yang difatwakan di Bagdad dan yang jadid yang difatwakan di Mesir.
4.
Guru-guru
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempelajari ilmu tafsir, fiqih, dan hadits kepada
guru-guru yang banyak, yang negerinya antara satu dengan yang lain berjauhan.
Guru-guru beliau yang masyhur, di antaranya:
1.
Di Mekkah
a.
Muslim bin Khalid Az Zanji
b.
Isma’il bin Qusthantein
c.
Sofyan bin Ujainah
d.
Sa’ad bin Abi Salim al Qaddah
e.
Daud bin Abdurrahman al ‘Athar
2. Di Madinah
a)
Imam Malik bin Annas (pembangun Mazhab Maliki)
b)
Ibrahim Ibnu Sa’ad al Anshari\
c)
Abdul Aziz bin Muhammad ad Darurdi
d)
Ibrahim Ibnu Abi Yahya Al Asaami
e)
Muhammad Bin Said
f)
Abdullah Bin Nafi’
3.
Di Yaman
a. Mathraf Bin Mazin
b. Hisyam Bin abu Yusuf Qadhi Shan’a
c. Umar Bin Abi Salamah
d. Yahya Bin Hasan
4. Di Irak
a. Wakik
Bin Jarrah
b. Humad
Bin Usamah
c.
Ismail Bin Ulyah
d. Abdul
Wahab Bin Abdul Majid
e.
Muhammad Bin Hasan
f. Qadhi
Bin Yusuf
Demikian daftar nama-nama guru imam syafi’i. Dari
nama-nama tersebut dapat diketahui bahwa imam syafi’i sebelum menjadi imam
mujtahid telah mempelajari aliran-aliran fiqih maliki dari pembangunnya imam
maliki sendiri, telah mempelajari fiqih hanafi dari Qadhi bin Yusuf dan
Muhammaad bin Hasan yaitu murid-murid imam Hanafi di kufah.
5.
Murid-murid
Imam Syafi’i
a)
Murid-murid imam Syafi’i
di Baghdad
1) Abu Ali al Hasan as- shabah
as-zakfaran
2) Husen bin Ali al-Karabisi
3) imam Ahmad bin Hanbal
4) Abu Tsur al- Kalabi
5) ishak bin Rahuyah
6) ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi
7) Abdullah bin Zubair al-Humaidi
8) Dll
b) Murid Imam
Syafi’i di Mesir
1) ar-Rabi’in bin Sulaiman al-Muradi
2) Abdullah bin Zubair al-Khumaidi
3) Al-Buwaithi
4) Al-Muzany
5) Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Jizi
6) harmala bin Yahya at-Tujibi
7) Yunus bin Abdil A’ala
8) Muhammad bin Abdullah bin Abdul
hakam
9) Abdurrahman bin Abdullah bin
Abdul Hakam
10) Abu Bakar al-Humaidi
11) Abdul Aziz bin Umar
12) Abu Utsman
13) Abu Hanifa al-Aswani
14) Dll.
6. Daerah-daerah penyebaran Mazhb
Imam Syafi’i
Zaman keemasan Islam dahulu, mazhab Syafi’i memiliki
penganut mayoritas di Mesir, Iraq dan Khurasan. Seperti yang kita ketahui Mesir
dan Iraq adalah tempat dimana Imam Syafi’i rahimahullah mengajar murid-muridnya
dan menyebarkan mazhabnya. Adapun Khurasan adalah tempat asal kebanyakan
muridnya. Dari tiga negeri inilah mazhab Syafi’i kemudian menyebar ke berbagai
pelosok negeri.
Berikut adalah wilayah-wilayah
dengan penganut mazhab Syafi’i (secara kuantitas) di Dunia saat ini :
1.
Mesir
Mesir adalah tempat Imam Syafi’i menetap sampai akhir
hayatnya. Disini jugalah muncul qaul jadid sebagai bentuk progresifitas mazhab
beliau. Disini pula beliau mendidik murid-murid yang kelak menjadi penolong dan
penyebar mazhabnya.
Masyarakat Mesir sendiri sebelum kedatangan Imam
Syafi’i menganut mazhab Maliki lalu Hanafi. Kondisi ini bertahan hingga Imam
Syafi’i masuk ke Mesir dan menyebarkan mazhabnya. Bahkan pakar sejarah
mengatakan bahwa Mazhab Syafi’i sendiri berhasil mempengaruhi penduduk mesir
sehingga mengalahkan pengaruh mazhab Maliki dan Hanafi yang sudah ada
sebelumnya. Ibn Khaldun berkata dalam Muqaddimahnya “Mazhab Syafi’i di Mesir
memiliki penganut yang lebih banyak dari mazhab lainnya”
Pengaruh tersebut
sempat memudar tatkala Dinasti Syiah Fathimiyyah menguasai Mesir, namun kembali
berjaya saat kekuasaan Fathimiyyah dikalahkan Dinasti Ayyubiyyah yang menganut
mazhab Syafi’i. Pengaruh ini bertahan sampai kekuasaan Dinasti Mamalik, hingga
akhirnya Dinasti Utsmaniyyah yang bermazhab Hanafi menguasai Mesir. Walau
begitu, kekuasaan mazhab Hanafi ini tidak terlalu banyak menggusur posisi
mazhab Syafi’i yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Mesir.
Mesir saat ini secara
hukum didominasi oleh mazhab Hanafi sebagai warisan kekuasaan Dinasti
Utsmaniyyah. Namun posisi Mazhab Syafi’i dan Maliki tetap bertahan dalam
Masyarakat. Hal ini terlihat dalam metode peribadatan yang diamalkan
masyarakat. Secara umum, Bagian utara Mesir menganut mazhab Syafi’i dan bagian
selatan menganut mazhab Maliki[4]. Saat ini, Mesjid Al-Azhar Asy-Syarif
menjadi pusat pendidikan mazhab Syafi’i di Mesir.
2.
Syam
Berkembang pesatnya mazhab Syafi’i di negeri Syam
tidak terlepas dari andil Hakim Agung Imam Abu Zur’ah Ad-Dimasyq di pertengahan
abad ke 4 hijriyah. Sebelum itu, masyarakat Syam menganut mazhab serta
menjalankan lembaga Qadha’ / peradilan sesuai mazhab Imam Awza’i. Membesarnya
pengaruh mazhab Syafi’i di Syam inilah yang kelak mempengaruhi para pendiri
dinasti Ayyubiyyah di Mesir (dimana daerah kekuasaannya juga meliputi Syam).
Di masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi,
banyak madrasah mazhab Syafi’i yang didirikan di Syam terutama di daerah
Damaskus. Hal ini juga yang membuat mazhab Syafi’i memiliki banyak penganut
disana. Ahmad Taymur Basya memperkirakan bahwa mazhab Syafi’i dianut oleh
seperempat penduduk Syam.
3. Iraq
Iraq merupakan tempat pertama Imam Syafi’i membangun,
mengajar dan menyebarkan mazhabnya. Pendapat beliau selama di Iraq dikenal
dengan istilah Qaul Qadim. Bahkan dalam dinamika mazhab Syafi’i terdapat
madrasah dan metode khusus yang dinamakan madrasah atau metode Iraqiyyun.
Walaupun mazhab Syafi’i di Iraq mendapat tempat khusus
di kalangan masyarakatnya namun di pemerintahan terutama posisi hakim, mazhab
Syafi’i jarang sekali menempatkan ulama mazhabnya. Posisi hakim hampir selalu
diisi oleh ulama mazhab Hanafi[8]. Mazhab Syafi’i sendiri dalam sejarahnya
memberikan banyak pengaruh ke masyarakat lewat lembaga pendidikan Madrasah
Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham Al-Muluk terutama Madrasah Nizhamiyah di
Baghdad.
4. Persia
Negeri Persia memiliki peranan penting dalam mazhab
Syafi’i. Bukan hanya dari segi penyebaran mazhab namun juga dalam perkembangan
dan pengokohan pondasi mazhab hingga bisa kita temukan seperti saat ini. Dalam
mazhab Syafi’i dikenal madrasah atau metode Al-Khurasiyun atau Al-Marawizah
yang merujuk kepada Ulama-ulama mazhab Syafi’i dari negeri ini. Siapa yang
tidak kenal Abu Zaid Al-Maruzi atau Qafal Ash-Shagir atau bahkan Imam Haramaini
Juwaini. Semuanya adalah produk Mazhab Syafi’i dari negeri Persia.
Bisa dibilang Persia di era keemasan Islam adalah
negerinya mazhab Syafi’i. Hampir setiap daerahnya melahirkan ulama-ulama yang
pakar dalam mazhab Syafi’i. Ada daerah Syiraz, Samarkand, Bukhara, Jurjan,
Rayy, Isbahan, Thus, Hamzan, Zinjan, Tibriz, Bayhaq, Fairuzabad dan
negeri-negeri lainnya yang sampai saat ini sangat mudah kita jumpai dalam
kitab-kitab mazhab Syafi’i. Dari negeri ini pula mazhab Syafi’i berkembang ke
daerah Traxonia (Maa Wara’ An-Nahr, Azerbaijan, Khawarizm serta ke negeri India
dan negeri lain disekitarnya. Sayang,
keemasan mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang dianut oleh mayoritas muslim di
Negeri ini meredup bahkan punah saat penyerangan bangsa mongol yang dipimpin
oleh Jengis Khan dan dilanjutkan oleh Hulagu Khan. Seiring hancur leburnya
negeri itu beserta umat islam, hilang pula lah kejayaan mazhab Syafi’i disana.
Hari ini kabarnya mazhab Syafi’i masih ada dianut oleh beberapa muslim Iran
(Persia hari ini) walau sangat minoritas dan tentu saja tidak sehebat masa
dulu.
5. Hijaz
Negeri Hijaz yang meliputi dua tanah Haram (Mekah dan
Madinah) juga memiliki banyak populasi masyarakat yang banyak menganut mazhab
Syafi’i. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, mazhab Syafi’i memiliki madrasah
bahkan mufti mazhab tersendiri. Banyak pelajar-pelajar dari berbagai negeri
yang belajar fiqh mazhab Syafi’i di Negeri ini, tak terkecuali Indonesia.
Bahkan salah seorang ulama asal Sumatera Barat yang bernama Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi pernah menduduki posisi mufti mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Mazhab Syafi’i sendiri merupakan mazhab yang banyak dianut oleh penduduk Hijaz
selain mazhab Hanbali
Saat ini, pendidikan mazhab Syafi’i diambil oleh
madrasah-madrasah seperti Madrasah Saulatiyah dan Darul Ulum mengingat kondisi
politik Arab Saudi yang dikuasai oleh Wahabi yang menyebarkan propaganda anti
mazhab cukup membuat penyebaran mazhab Syafi’i tersendat. Selain Hijaz, daerah
kerajaan Arab Saudi yang juga banyak menganut mazhab Syafi’i adalah daerah
Ahsa’, Asir dan Tihamah.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imam Syafi’i lahir di
Gaza (Palestina) pada hari jum’at, di akhir bulan Rajab tahun 150 H sebagai
“tangkai yang baru”. Sebab, kelahiran Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun meninggalnya
Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Idris bin
Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’bin bin As-Said bin Ubaid bin Abdun Yazid bin
Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdul Manaf.
Imam Syafi’i adalah sosok ulama yang mampu
menggabungkan antara atsar Ulama madinah dan Ra’yi Ulama irak. Beliau berhasil
menggabungkan keduanya dan membangun mazhab sendiri tanpa terikat apa pun
selain kebenaran. As-sunnah, Ijma’, Qaul Ash-Shahaby, dan Qiyas menjadi
beberapa fondasi utama dalam mazhab ini.
Qaul qadim adalah pendapat Imam
Syafi’i yang lama ketika berada di Irak berupa tulisan atau fatwa beliau. Yang
mencatat qaul qadim dari Imam Syafi’i adalah Al-Hasan bin Muhammad yang dikenal
dengan Az-Za’farani dan Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali yang dikenal dengan
Al-Karabisi.
Sedangkan Qaul jadid adalah pendapat
Imam Syafi’i di Mesir baik berupa tulisan maunpun fatwa. Yang meriwayatkan
adalah Al-Muzani, Al-Buyuthi, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Maradi dan Ar-Rabi’
Al-Jizi. Yang lain yang meriwayatkannya adalah Harmalah, Yunus bin ‘Abdul
A’laa, ‘Abdullah bin Az Zair Al-Makkiy, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul
Hakam. Al-Muzani, Al-Buyuthi dan Ar-Rabi’ Al-Maradi adalah tiga murid utama,
yang lain menukil dari tiga ulama ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sati, Pakih, Jejak Hidup dan
Keteladanan Imam 4 Madzhab, Yogyakarta, Kana Media. 2014
Muchtar Asmaji, Fatwa-fatwa
Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, Amzah,
2015
Abbas Siradjuddin, Sejarah dan
Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta, Pustaka Tarbiyah, 1995
http://zamzamisaleh.blogspot.co.id/2013/12/demografi-mazhab-syafii.html
[1] D.A Pakih Sati, Jejak Hidup dan Keteladanan Imam 4
Madzhab, (2014: Yogyakarta, Kana Media) Hlm.142
[2]Ibid Hlm. 143
[3]Asmaji Muchtar, Fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i,
(2015: Jakarta, Amzah) hlm. 7
[4] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab
Syafi’i, (1995: Jakarta, Pustaka Tarbiyah) Hlm. 11
[5]Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab
Syafi’i, (1995: Jakarta, Pustaka Tarbiyah) Hlm. 136
[6]Ibid Hlm.
138
[7] http://zamzamisaleh.blogspot.co.id/2013/12/demografi-mazhab-syafii.html/pada tanggal 27 April 2017 pukul 23.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar