Kamis, 04 Mei 2017

Syar'u Man Qablana dan Madzhab Shahaby

SYAR’U MAN QABLANA & MADZHAB SHAHABY
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ushul Fiqih




Dosen Pembimbing :
AHMAD ARIFI
NIP :   ( 19661121 199203 1 002 )


Nama Kelompok 10 :
1.        Muhammad Ifan Nur Afuddin ( 16490036 )
2.        Isnaini Nur fathonah                ( 16490047 )

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2017







BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Salah satu rukun iman adalah beriman kepada para nabi dan para rasul yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dan menyampaikan wahyu itu kepada umatnya. Keimanan ini mengandung arti percaya akan risalah yang dibawa rasul dan melaksanakan pesan-pesan Allah yang disampaikannya. Kita tidak membedakan antara seorang rasul dengan rasul lainnya. Setiap Rasul, mulai dari Nabi Adam sampai pada Rasul terakhir, Nabi Muhammad, membawa pesan Allah yang berkenaan dengan dua hal, yaitu tentang apa-apa yang harus diimani dan apa-apa yang harus diamalkan oleh manusia dalam kehidupannya. Iman menyangkut hal paling dalam dari kehidupan, sedangkan amal berkenaan dengan kehidupan lahir yang dengan sendirinya dapat dipengaruhi oleh kihudupan di dunia.
Oleh karena hal yang berkenaan dengan keimanan tidak terpengaruh oleh yang bersifat lahir (duniawi), maka bentuk dan pola keimanan yang diajarkan oleh seluruh Rasul itu pada dasarnya adalah sama, semuanya bertumpu pada tauhid. Hal ini secara konsisten berlaku tetap dari semenjak ajaran yang dibawa Nabi Adam sampai ajaran Nabi Muhammad.
Sebaliknya, karena amal menyangkut hal luar, maka ia dapat terpengaruh oleh kehidupan manusia (duniawi) yang selalu mengalami perubahan. Karena itu, maka apa yang harus dilakukan oleh umat dari seseorang Rasul pada suatu masa, tidak mesti dengan apa-apa yang harus dilakukan oleh umat Nabi dan Rasul yang datang sebelumnya.
Setiap Rasul yang datang belakangan, di samping bertugas membawa syariat yang baru untuk umatnya. Juga melakukan semacam koreksi(penyempurnaan) dan pembatalan syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya. Hal ini berarti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, diantaranya ada yang sama dengan syariat sebelumnya dan ada syariat yang baru sama sekali.

B.       Rumusan Masalah
1.    Pengertian Madzab Shahabi ?
2.    Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah wafat ?
3.    Kehujjahan Madzab Shahabi ?
4.    Pengertian Syar’u Man Qablana ?
5.    Pengelompokkan Syar’u Man Qablana ?
6.    Kehujjahan Syar’u Man Qablana ?

C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui Pengertian Madzab Shahabi
2.    Untuk mengetahui Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah wafat
3.    Untuk mengetahui Kehujjahan Madzab Shahabi
4.    Untuk mengetahui Pengertian Syar’u Man Qablana
5.    Untuk mengetahui Pengelompokkan Syar’u Man Qablana
6.    Untuk mengetahui Kehujjahan Syar’u Man Qablana

















BAB II
PEMBAHASAN


A.          Pengertian Madzhab Shahabi
Hampir semua kitab ushul fiqih membahas tentang  madzhab Shahabi, meskipun mereka berbeda dalam keluasan bahasannya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi ((قول الصحابى, ada pula yang menamakannya fatwa shahabi (فتوى الصحابي). Hampir semua literature yang membahas madzhab shahabi menempatkannya pasda pembahasan tentang “dalil syara’ yang diperselisikan”. Bahkan ada yang menempatkannya pada “pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak”, seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minhaj al-ushul. Hal ini menunjukkan bahwa madzhab shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil ulama’ ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.[1]
Sulit menemukan arti madzhab shahabi itu secara defenitif yang bebas dari kritik. Namun dari beberapa literatur yang menjelaskan hakikat madzhab shahabi, dapat dirumuskan arti madzhab shahabi itu secara sederhana yaitu fatwa sahabat secara perseorangan.

B.           Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah wafat
          Semasa Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengisthinbathkan hukum, telah berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya seperti meriwayatkan hadist.[2]
          Setelah Rasulullah SAW wafat, tampil lah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula lah keluar fatwa mengenai peristiwa bemacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.[3]

C.      Kehujjahan Madzhab Shahabi
            Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah madzhab shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan, yaitu: 1.  Pembahasan dari kehujjahan terhadap sesame sahabat yang lain, dan
     kehujjahannya terhadap generasi berikutnya atau orang selain sahabat
2.      Pembahasan dari segi bentuk madzhab shahabi, dapat dibedakan anatara kemugkinan berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain.[4]
                   Dalam beberapa literature ushul fiqih, dikemukakan pendapat para ulama’ yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka sebagai berikut:[5]
1.     Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar Ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadis Nabi yang menyatakan
اقتدوابالذىن من بعدد ابى بكر وعمر
Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar.
2.     Pendapat empat orang dari khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainnya. Dasarnya adalah hadis Nabi dishahihkan oleh al-Tirmidzi
عليكم سنتى وسنةالخلفء الزشدين من بعدى
Adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku.
3.    Pendapat salah seorang Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujah. Pendapat ini dinukilkan dari Al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok sahabat ini oleh Al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukannya ke kufah dan waktu para sahabat yang biasa menjadi narasumberbagi khilafah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali sudah tidak ada lagi.
4.    Pendapat dari sahabat yang menjadi keistimewaan pribadi Nabi menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaan itu, seperti (hukum waris); mu’adz Ibn jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Ibn Thalib dalam masalah peradilan.

D.      Pengertian Syar’u Man Qablana
                   Pembicaraan ulama tentang kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya setelah beliau menerima risalah seperti dijelaskan diatas, berkembang pada pembicaraan tentang:apa sebenarnya yang disebut syariat sebelum kita itu. Dimana hal itu dapat ditemukan dan apakah umat islam wajib mengikutinya. Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelum adanya syariat Nabi Muhammad.
                   Jika Al-Qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditunjukkan juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah : 183,
 الدين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الدين من فبلقم(البفرة: 183 ياايها

Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”
       Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunub dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.[6]
                   Jadi yang dimaksud dengan syar’u man qoblana ialah syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim as, Syariat Nabi Musa as, syariat Nabi Daud as, syariat Nabi Isa as dan sebagainya. Pada azasnya syari’at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat terdahulu mempunyai azas yang sama dengan syariat yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW. [7]
                   Diantara  azasnya yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dll. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan degan keadaan, masa dan tempat. Dalam pada itu ada pula syari’at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syariat Nabi Muhammad SAW, seperti puasa (lihat surat Al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat Al-Maidah: 32) dan sebagainya

E.       Pengelompokkan Syar’u Man Qablana
          Syariat sebelum kita dalam pengertian diatas, dapat dibagi ke dalam 3 kelompok[8]:
a.    Syariat terdahulu yang terdapat dalam Al-Qur’an penjelasan Nabi yang disyariatkan umtuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah di nasakh dan tidak berlaku lahi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat al-An’am (8):146:
وعلى الذين هادوا حرمنا كل ذفر ومن البقر والغنم حرمنا عليهم شحومهما(الانعام:)146
Artinya :
“Kami haramkan atas orang-orang yahudi setiap (binatang) yang punya kuku; dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.”
Ayat ini mengisahkan apa yang mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untukk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat al-An’am (6):145:
قل لااجد في مااوحي الي محرما على طاعم يطعمه الا ان يكون ميتة اودما مسفوحا او لحم خنزير

Artinya:
“Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi”
b.        Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2):183 :
ياايهاالذين امنوا كتب عليكم  الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad.
c.         Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di nasakh. Bentuk ketiga inilah yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian Ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara’ atau metode ijtihad.

F.       Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Pendapat mereka adalah berikut[9]:
a.       Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara khusus untuk umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan men-nasakh syariat sebelumnya.
b.      Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakh-nya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. [10]Dari sini, muncul kaidah :
شرع من قبلنا شرع لنا
Artinya:
“Syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syariat kita.”


















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa dari dosa).







DARTAR PUSTAKA

Kamal Muchtar, 1995, Ushul Fiqih, Yogyakarta, PT Dana Bhakti Wakaf
Syafe’i, Rachmat, 2010 ilmu ushul fiqih, Bandung, CV Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir, 2009, ushul fiqh, Jakarta, Kencana Prenada Media Groub
Umar Muin, 1985, Ushul Fiqih, Jakarta, IAIN JAKARTA
Zahrah Abu, Muhammad, 2010, Ushul fiqih, Jakarta, PT Pustaka Firdaus












[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana prenada media group)2009. Hlm 411
[2] Kamal Muchtar, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf) 1995, hlm. 160
[3] Racmat Syafe’i,ilmu Ushul Fiqih,(Bandung:Pustaka setia) 2010, hlm. 141
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, (Jakarta; Pustaka Firdaus) 2010 hlm. 321
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana prenada media group)2009. Hlm. 410
[6] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih,(Bandung:Pustaka Setia) 2010. Hlm. 141
[7]  Muin Umar, Ushul Fiqih, (Jakarta: IAIN JAKARTA) 1985. Hlm. 153
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana prenada media group)2009. Hlm 417

[9] Ibid hlm 42
[10] Ibid hlm. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

9 Cara Mengobati Mata Minus Secara Alami

9 Cara Mengobati Mata Minus Secara Alami   Mata minus  atau rabun merupakan suatu keadaan dimana kita tidak dapat melihat suatu objek ...