Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas Ushul Fiqih
Dosen
Pembimbing :
AHMAD
ARIFI
NIP
: ( 19661121 199203 1 002 )
Nama
Kelompok 10 :
1.
Muhammad Ifan Nur Afuddin (
16490036 )
2. Isnaini Nur fathonah ( 16490047 )
2. Isnaini Nur fathonah ( 16490047 )
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu rukun iman adalah beriman kepada para nabi dan para
rasul yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dan menyampaikan wahyu itu kepada
umatnya. Keimanan ini mengandung arti percaya akan risalah yang dibawa rasul
dan melaksanakan pesan-pesan Allah yang disampaikannya. Kita tidak membedakan
antara seorang rasul dengan rasul lainnya. Setiap Rasul, mulai dari Nabi Adam
sampai pada Rasul terakhir, Nabi Muhammad, membawa pesan Allah yang berkenaan
dengan dua hal, yaitu tentang apa-apa yang harus diimani dan apa-apa
yang harus diamalkan oleh manusia dalam kehidupannya. Iman menyangkut hal
paling dalam dari kehidupan, sedangkan amal berkenaan dengan kehidupan lahir
yang dengan sendirinya dapat dipengaruhi oleh kihudupan di dunia.
Oleh karena hal yang berkenaan dengan keimanan tidak terpengaruh
oleh yang bersifat lahir (duniawi), maka bentuk dan pola keimanan yang
diajarkan oleh seluruh Rasul itu pada dasarnya adalah sama, semuanya bertumpu
pada tauhid. Hal ini secara konsisten berlaku tetap dari semenjak ajaran yang
dibawa Nabi Adam sampai ajaran Nabi Muhammad.
Sebaliknya, karena amal menyangkut hal luar, maka ia dapat
terpengaruh oleh kehidupan manusia (duniawi) yang selalu mengalami perubahan.
Karena itu, maka apa yang harus dilakukan oleh umat dari seseorang Rasul pada
suatu masa, tidak mesti dengan apa-apa yang harus dilakukan oleh umat Nabi dan
Rasul yang datang sebelumnya.
Setiap Rasul yang datang belakangan, di samping bertugas membawa
syariat yang baru untuk umatnya. Juga melakukan semacam koreksi(penyempurnaan)
dan pembatalan syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya.
Hal ini berarti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, diantaranya ada yang
sama dengan syariat sebelumnya dan ada syariat yang baru sama sekali.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Madzab Shahabi ?
2.
Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah wafat ?
3.
Kehujjahan Madzab Shahabi ?
4.
Pengertian Syar’u Man Qablana ?
5.
Pengelompokkan Syar’u Man Qablana ?
6.
Kehujjahan Syar’u Man Qablana ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui Pengertian Madzab Shahabi
2.
Untuk mengetahui Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah wafat
3.
Untuk mengetahui Kehujjahan Madzab Shahabi
4.
Untuk mengetahui Pengertian Syar’u Man Qablana
5.
Untuk mengetahui Pengelompokkan Syar’u Man Qablana
6.
Untuk mengetahui Kehujjahan Syar’u Man Qablana
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Madzhab Shahabi
Hampir semua kitab ushul fiqih membahas tentang madzhab Shahabi, meskipun mereka berbeda
dalam keluasan bahasannya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang
menamakannya dengan qaul shahabi ((قول الصحابى, ada pula yang menamakannya fatwa shahabi (فتوى الصحابي). Hampir semua
literature yang membahas madzhab shahabi menempatkannya pasda pembahasan
tentang “dalil syara’ yang diperselisikan”. Bahkan ada yang menempatkannya pada
“pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak”, seperti yang dilakukan Asnawi
dalam kitabnya Syarh Minhaj al-ushul. Hal ini menunjukkan bahwa madzhab
shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi
dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di
kalangan sebagian kecil ulama’ ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.[1]
Sulit menemukan arti madzhab shahabi itu secara defenitif
yang bebas dari kritik. Namun dari beberapa literatur yang menjelaskan hakikat
madzhab shahabi, dapat dirumuskan arti madzhab shahabi itu secara sederhana
yaitu fatwa sahabat secara perseorangan.
B.
Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah wafat
Semasa
Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam
masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah SAW, dan
Rasulullah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam
mengisthinbathkan hukum, telah berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan
persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan
fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh
tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya seperti meriwayatkan
hadist.[2]
Setelah Rasulullah
SAW wafat, tampil lah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan
mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum.
Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan
Rasulullah SAW dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari
mereka pula lah keluar fatwa mengenai peristiwa
bemacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka
ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa
mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.
Bahkan seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa
mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan
yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.[3]
C.
Kehujjahan Madzhab Shahabi
Maksud
kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat
islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah madzhab shahabi
itu menyangkut beberapa segi pembahasan, yaitu: 1. Pembahasan dari kehujjahan
terhadap sesame sahabat yang lain, dan
kehujjahannya terhadap
generasi berikutnya atau orang selain sahabat
2.
Pembahasan dari segi bentuk madzhab shahabi, dapat dibedakan
anatara kemugkinan
berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain.[4]
Dalam beberapa literature ushul fiqih, dikemukakan
pendapat para ulama’ yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat adalah
secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka
sebagai berikut:[5]
1.
Pendapat sahabat yang
berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar Ibn Khattab
bersama-sama. Dasarnya adalah hadis Nabi yang menyatakan
اقتدوابالذىن من بعدد ابى بكر وعمر
Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar.
2.
Pendapat empat orang dari
khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainnya. Dasarnya
adalah hadis Nabi dishahihkan oleh al-Tirmidzi
عليكم سنتى وسنةالخلفء الزشدين من بعدى
Adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa
al-Rasyidin yang datang sesudahku.
3.
Pendapat salah seorang Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi
hujah. Pendapat ini dinukilkan dari Al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam
kelompok sahabat ini oleh Al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya
dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia
memindahkan kedudukannya ke kufah dan waktu para sahabat yang biasa menjadi
narasumberbagi khilafah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali sudah
tidak ada lagi.
4.
Pendapat dari sahabat yang menjadi keistimewaan pribadi Nabi
menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaan itu, seperti (hukum
waris); mu’adz Ibn jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Ibn Thalib
dalam masalah peradilan.
D.
Pengertian Syar’u Man Qablana
Pembicaraan
ulama tentang kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya setelah
beliau menerima risalah seperti dijelaskan diatas, berkembang pada pembicaraan
tentang:apa sebenarnya yang disebut syariat sebelum kita itu. Dimana hal itu dapat
ditemukan dan apakah umat islam wajib mengikutinya. Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syar’u man qablana
adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum islam yang
dibawa oleh para Nabi dan Rasul sebelum adanya syariat Nabi Muhammad.
Jika
Al-Qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah
disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash
tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka
tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditunjukkan juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT.
Dalam surat Al-Baqarah : 183,
الدين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الدين
من فبلقم(البفرة: 183 ياايها
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua
berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”
Sebaliknya, bila
dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu,
namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum
tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa
seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan
membunub dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci
kecuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.[6]
Jadi yang
dimaksud dengan syar’u man qoblana ialah syariat yang dibawa para rasul dahulu,
sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
diutus kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim as, Syariat Nabi Musa as,
syariat Nabi Daud as, syariat Nabi Isa as dan sebagainya. Pada azasnya syari’at
yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat terdahulu mempunyai azas yang sama
dengan syariat yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW. [7]
Diantara azasnya yang sama itu ialah yang berhubungan
dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan qadar,
tentang janji dan ancaman Allah dll. Mengenai perinciannya atau detailnya ada
yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan degan keadaan, masa dan
tempat. Dalam pada itu ada pula syari’at umat yang dahulu itu sama namanya,
tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syariat Nabi Muhammad SAW, seperti puasa
(lihat surat Al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat Al-Maidah: 32) dan
sebagainya
E.
Pengelompokkan Syar’u Man Qablana
Syariat
sebelum kita dalam pengertian diatas, dapat dibagi ke dalam 3 kelompok[8]:
a.
Syariat terdahulu yang terdapat dalam Al-Qur’an penjelasan Nabi
yang disyariatkan umtuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam
Al-Qur’an atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah di nasakh dan tidak berlaku
lahi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat al-An’am
(8):146:
وعلى الذين هادوا
حرمنا كل ذفر ومن البقر والغنم حرمنا عليهم شحومهما(الانعام:)146
Artinya :
“Kami haramkan
atas orang-orang yahudi setiap (binatang) yang punya kuku; dan dari sapi dan
kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.”
Ayat ini mengisahkan apa yang mengisahkan apa yang diharamkan Allah
untuk orang yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal
itu tidak berlaku lagi untukk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat
al-An’am (6):145:
قل لااجد في مااوحي الي محرما على طاعم يطعمه الا ان يكون ميتة اودما
مسفوحا او لحم خنزير
Artinya:
“Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang
mengalir dan daging babi”
b.
Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi
disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi
Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam
surah Al-Baqarah (2):183 :
ياايهاالذين
امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين
من قبلكم لعلكم تتقون
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat
terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad.
c.
Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi,
dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara tidak
dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut
telah di nasakh. Bentuk ketiga inilah yang disebut “syariat sebelum kita” yang
menjadi bahan kajian Ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara’
atau metode ijtihad.
F.
Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita
itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Pendapat
mereka adalah berikut[9]:
a.
Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan
Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa
hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku
untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk
umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku
secara khusus untuk umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum. Lain halnya
syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara
umum dan men-nasakh syariat sebelumnya.
b.
Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian
sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa
hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi meskipun tidak
diarahkan untuk umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang
nasakh-nya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. [10]Dari
sini, muncul kaidah :
شرع من قبلنا شرع لنا
Artinya:
“Syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syariat kita.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun
disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat
Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang
sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan
ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara
keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat
orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan
ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat
mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum
(tidak terjaa dari dosa).
DARTAR PUSTAKA
Kamal Muchtar, 1995, Ushul Fiqih,
Yogyakarta, PT Dana Bhakti Wakaf
Syafe’i, Rachmat, 2010 ilmu ushul fiqih, Bandung, CV
Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir, 2009, ushul fiqh,
Jakarta, Kencana Prenada Media Groub
Umar Muin, 1985, Ushul Fiqih, Jakarta,
IAIN JAKARTA
Zahrah Abu, Muhammad, 2010, Ushul fiqih, Jakarta, PT
Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar